November 27th, 2009
Sumber : Buku Kurban dan Permasalahannya
Sumber : Buku Kurban dan Permasalahannya
“KURBAN DAN PERMASALAHANNYA”
Bab 1
Pendahuluan
Kata kurban berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa artinya dekat. Adapun pengertian secara istilah adalah menyembelih hewan pada hari Idul Adha dan tiga hari di hari tasyriq untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bab 2
Sejarah Kurban
A. Peristiwa Pertama
Kurban pertama terjadi pada zaman Nabi Adam a.s yang dilaksanakan oleh puteranya, Qabil dan Habil. Qabil diperintahkan untuk mengeluarkan hasil pertaniannya, sementara Habil diperintahkan untuk mengeluarkan hewan-hewan peliharannya. Habil yang sholeh memilih hewan terbaik yang dimilikinya sedangkan Qabil memilih produk-produk pertaniannya yang jelek. Hasilnya kurban yang dikeluarkan Habil diterima oleh Allah sementara kurban Qabil tidak diterima.
B. Peristiwa Kurban Nabi Ismail
Kurban kedua terjadi pada zaman Nabi Ibrahim a.s ketika beliau hendak menyembelih anak pertamanya, Nabi Ismail a.s. Lahirnya perintah tersebut diawali oleh mimpi Nabi Ibrahim. Ia mendapat perintah dari Allah menyembelih putranya, Ismail. Dan sungguh Nabi Ibrahim merasa bangga ketika putranya memberikan jawaban yang luar biasa, ia menyatakan kesediaannya untuk dijadikan kurban sebagaimana perintah Allah. Dan Allah menebus Nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar.
Bab 3
Kurban dalam Tradisi Keagamaan Dunia
A. Yahudi
Selain karena terkait dengan Nabi Ibrahim dan puteranya, praktik kurban dalam agama Yahudi juga dikaitkan dengan Nabi Musa a.s karena pada masa kenabian beliaulah umat Yahudi diperintahkan untuk melakukan kurban dengan menyembelih sapi (baqarah). Ibnu Abbas menyatakan bahwa perintah ini dilatarbelakangi oleh peristiwa pembunuhan terhadap seorang laki-laki bani Israil pada masa itu. Dan dalam rangka menemukan pembunuhnya, Nabi Musa meminta petunjuk Allah SWT tentang siapa dan bagaimana caranya menemukan pelaku pembunuhan itu. Atas petunjuk dan perintah Allah SWT, Nabi Musa a.s memerintahkan umatnya untuk menyembelih sapi.
B. Kristen
Berbeda dengan tradisi Yahudi yang menjadikan kurban sebagai wujud pertobatan dari kesalahan mereka, dalam tradisi kristen justru menempati posisi sentral karena tidak sekedar berkaitan dengan aspek ritual (ibadah), tetapi sebagai aspek teologi. Hal ini tidak terlepas dari peristiwa penyaliban Nabi Isa a.s (Yesus Kristus, menurut sumber mereka) yang merupakan simbol pengorbanan, sekaligus kecintaan agung seorang nabi kepada umatnya. Bahkan, tradisi ini merupakan simbol penyelamatan seluruh umat Kristen di muka bumi hingga akhir zaman.
C. Hindu
Agama Hindu tidak mengenal tradisi kurban sebagaiaman Yahudi, Kristen dan Islam. Hal itu dikarenakan mereka meyakini ahimsa (anti kekerasan), yaitu melarang melakukan kekerasan, seperti menyakiti binatang. Meskipun demikian, ada juga beberapa sekte Hindu yang justru mempraktikkan kurban binatang. Sebagai contoh, beberapa kelompok Hindu badui, mereka tetap melakukan persembahan kurban kambing dan kerbau untuk para dewa mereka. Berbeda dengan kelompok Hindu puritan yang menjadi orientasi keagamaan di India, beberapa kelompok Hindu di Nepal justru masih berkurban dengan hewan. Bahkan, pelaksanaannya pun berlangsung sangat umum hingga sekarang.
Bab 4
Kurban, Hukum, Pelaksanaan, dan Keutamannya
A. Syari’at Berkurban
Kurban termasuk sunnah yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s tatkala Ibrahim mendapat perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail. Akan tetapi, Allahkemudian mengganti Ismail dengan domba. Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih domba sebagai ganti dari perintah untuk menyembelih Ismail. Atas dasar itulah kurban menjadi sunnah Nabi Ibrahim dan diabadikan dalam ajaran Islam. Adapun penetapan syari’at kurban adalah pada tahun kedua Hijriah.
B. Pengertian Kurban
Kata qurban berasal dari bahasa Arab qurban, artinya mendekati atau menghampiri. Adapun menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik berupa hewan sembelihan maupun lainnya.
C. Hukum Berkurban
Kurban hukumnya sunnah. Imam Malik, Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hazm berkata, “Kurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” Sebaliknya makruh meninggalkan kurban bagi orang yang mampu.
D. Niat dalam Berkurban
Niat merupakan amalan yang tidak boleh ditinggalkan, demikian juga bagi setiap orang yang hendak menyembelih hewan kurban. Dia harus berniat terlebih dahulu. Terkait niat dalam berkurban, ulama sepakat jika ibadah itu diniatkan sendiri oleh pelakunya, dibolehkan. Akan tetapi, yang menjadi perselisihan adalah jika ibadah itu diniatkan atas nama orang lain. Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa berkurban yang diatasnamakan orang lain, tidak sah hukumnya jika dilakukan tanpa seizin orang tersebut dan orangnya masih hidup. Demikian juga jika orang itu telah meninggal, kecuali jika ia diberi wasiat. Berbeda lagi, pandangan Malikiyyah yang memakruhkan amalan seperti itu. Adapun pendapat Hanfiyah dan Hanbaliyyah justru membolehkan.
E. Keutamaan Berkurban
a. Darahnya yang telah menetes ke bumi akan menjadi ampunan dosa.
b. Darahnya akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang di hari kiamat.
c. Tidak ada harta yang lebih utama di hari Idul Adha melebihi harta yang digunakan untuk menyembelih hewan kurban.
d. Sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada hamba-Nya.
e. Berkurban adalah ibadah terbaik yang dilakukan pada hari Idul Adha.
f. Setiap helai bulu hewan merupakan kebaikan bagi pelakunya.
Bab 5
Hewan Kurban
A. Jenis Hewan Kurban
Hewan yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi atau kerbau dan kambing atau domba. Adapaun keutamaan berkurban adalah menyembelih unta, sapi atau kerbau baru kemudian kambing. Karena kurban merupakan bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah maka apapun yang lebih bernilai, memiliki banyak daging, dan lebih bermanfaat tentu lebih utama.
B. Umur Hewan Kurban
Sesuai hadits-hadits Nabi saw, hewan dianggap cukup jika memenuhi beberapa ketentuan. “Untuk kambing atau domba harus berumur satu tahun masuk tahun kedua. Untuk sapi atau kerbau harus berumur dua tahun masuk tahun ketiga. Dan untuk unta harus berumur lima tahun,” tutur Sayyid Sabiq. Demikian juga terdapat hadits yang menjelaskan jenis hewan berikut jumlah kegunaannya bagi orang banyak yang hendak berkurban ;
1. Unta yang sudah berumur minimal lima tahun berlaku untuk tujuh orang.
2. Sapi yang sudah berumur minimal dua tahun berlaku untuk tujuh orang.
3. Kerbau yang berumur minimal dua tahun berlaku untuk tujuh orang.
4. Domba atau kambing yang sudah berumur minimal dua tahun berlaku untuk satu orang.
C. Kondisi Hewan Kurban
Berikut standar hewan kurban yang dijelaskan oleh Nabi saw ;
1. Hewan itu tidak pincang salah satu kakinya.
2. Tidak hilang sebagian telinganya.
3. Matanya tidak buta sebelah.
4. Tidak dalam kondisi sakit.
5. Tidak kurus sekali.
6. Ekornya tidak buntung atau putus.
7. Sebagian tanduknya tidak pataah atau hilang.
8. Dalam keadaan sehat, tidak mengandung atau baru beranak.
9. Tidak terpotong hidungnya.
Bab 6
Teknis Penyembelihan, Waktu, Tempat, dan Pendistribusian Hewan Kurban
A. Teknis Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa :
“Robbanaa taqobbal minna innaka anta sami’ul ‘aliim”
Ya Tuhan kami, terimalah kurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta. Penyembelih melakukan penyembelihan sambil membaca :
“Bismillahi Allohu Akbar”
Dengan nama Allah, Allah Maha besar.
Dapat pula ditambah shalawat atas Nabi saw. Kemudian penyembelih membaca doa kabul, yaitu :
“Allohumma minka wailaika Allohumma taqobbal min …. “
Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah terimalah dari ….
(sebut nama orang yang berkurban)
Adapun penyembelihan yang paling utama adalah dilakukan sendiri oleh orang yang berkurban, sekalipun dia seorang perempuan. Namun boleh juga diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berkurban menyaksikan penyembelihan itu. Dalam penyembelihan terdapat 4 rukun, yaitu : Pertama, penyembelih, Kedua, hewan yang disembelih, Ketiga, alat untuk menyembelih, Keempat, penyembelihan itu sendiri.
B. Waktu Penyembelihan
Penyembelihan hewan kurban dilaksanakan setelah shalat Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijah hingga akhir hari Tasyriq (sebelum Magrib), yaitu pada tanggal 13 Dzulhijah. Adapun yang lebih utama disegerakan, yaitu pada hari Idul Adha.
C. Tempat Penyembelihan
Tempat penyembelihan hewan kurban diutamakan dilakukan di dekat tempat shalat Idul Adha (lapangan atau masjid) sebab demikianlah Rasulullah saw melakukannya (H.R Bukhari). Meskipun demikian, hal itu tidak merupakan kewajiban karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (H.R Muslim).
D. Pendistribusian Hewan Kurban
Berdasarkan hadits Nabi saw pemanfaatan daging hewan kurban dibagi menjadi tiga cara, yaitu : memakan dagingnya sendiri, memberikan kepada fakir-miskin, dan disimpan. Adapun menurut Abu Hanifah, pola pembagian hewan kurban dibagi menjadi tiga, sepertiga dibagikan kepada kerabat dan sanak saudara, sepertiga disedekahkan, dan sepertiga lagi untuk disimpan. Boleh hukumnya mendistribusikan hewan kurban kepada fakir-miskin di luar tempat penyembelihan. Bahkan, boleh juga dikirim ke negara lain. Akan tetapi dilarang untuk diperjualbelikan.
Bab 7
Kurban dan Aqiqah
A. Perbedaan antara Kurban dan Aqiqah
Kurban adalah penyembelihan hewan oleh orang yang mampu pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijah. Adapun aqiqah adalah penyembelihan hewan oleh seseorang atas kelahiran anaknya.
Jika ibadah yang pertama dianjurkan untuk dilaksanakan setiap tahun, untuk yang kedua tidak, yaitu hanya saat kelahiran seorang bayi. Kemudian, jika dalam berkurban bisa dilaksanakan dengan kelompok beberapa orang, untuk aqiqah tidak diperbolehkan.
B. Pengertian Aqiqah
Aqiqah secara bahasa artinya memutus. Adapun secara istilah aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran seorang anak. Sementara itu, menurut Imam Jauhari aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuh dan mencukur rambut bayi.
C. Hukum, Keutamaan, dan Teknis Penyembelihan
Mengenai hukum aqiqah para ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama seperti ; Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik. Akan tetapi, menurut Sayyid Sabiq, pengarang Fiqhua Sunnah, mengkategorikannya sebagai sunnah mu’akaddah. Ini artinya bagi orang tua yang dikarunia bayi ditekankan melaksanakan aqiqah, meskipun ia dalam kondisi yang sempit.
Keutamaan pelaksanan aqiqah adalah pada hari ketujuh. Aisyah r.a dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aqiqah bias disembelih pada hari ketujuh, keempat belas, atau hari kedua puluh satu. Adapun menurut Imam Malik menyembelih aqiqah pada hari ketujuh hukumnya sunnah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan pada hari pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau sesudahnya, hal itu tetap dibolehkan.
Mengenai pelaksanan aqiqah ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, untuk laki-laki dua ekor kambing sedangkan untuk perempuan satu ekor kambing. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang didasarkan pada hadits Nabi saw. Berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat bahwa aqiqah bagi anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama, yaitu satu ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw mengaqiqahi masing-masing Hasan dan Husain dengan satu ekor kambing. Dalam penyembelihan hewan aqiqah, ada banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah sebaiknya tidak mematahkan tulang dari sembelihan tersebut. Hal itu sebagai sikap optimis terhadap kesematan anggota tubuh bayi yang lahir. Selain itu, ada juga hal-hal lain yang peril diperhatikan, yaitu hewan yang disembelih sudah cukup umur. Untuk domba harus berumur satu tahun atau lebih, sedangkan untuk kambing harus berumur dua tahun atau lebih. Domba atau kambing itu pun harus sehat dan tidak cacat.
Bab 8
Kurban dan Aspek Sosial
A. Dimensi Sosial Islam
Dalam pandangan K.H. Husein Muhammad, ritual-ritual keagaman Islam (termasuk juga kurban) selalu mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keyakinan atau keimanan dan dimensi sosial kemasyarakatan. Melalui ajaran tentang keyakinan atau keimanan, manusia dituntut untuk tetap menjadi hamba yang taat kepada Allah SWT. Sementara itu, melalui dimensi kedua, manusia dibimbing untuk menjadi khalifah yang shaleh di bumi. Tidak cukup hanya dengan keimanan, amalan manusia akan memperoleh nilai tinggi di hadapan Allah. Akan tetapi, kepedulian dan empati sosial seseorang terhadap sesama manusia di sekitarnya, juga sangat menentukan. Banyak ajaran dan prinsip islam yang menekankan pentingnya perhatian secara langsung terhadap persoalan sosial, seperti adanya perintah zakat, sedekah, infaq dan kurban.
B. Dimensi Sosial Kurban
Tujuan utama berkurban sebagaimana ibdah adalah menjadikan orang yang berkurban termasuk orang yang bertakwa. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara aspek keimanan dan aspek kemanusiaan. Dimensi sosial kurban itu menjadi penting, terlebih karena hal itulah yang membedakan dengan ritual kurban sebelum Islam. Jika nilai kurban dulu (sebelum Islam) lebih menekankan pada upaya pembersihan diri melalui persembahan kepada Sang Pencipta, kurban dalam Islam justru sangat menekankan aspek sosial. Daging kurban, misalnya, harus didistribusikan kepada kaum fakir-miskin.
Khusus berkaitan dengan Idul Adha (Hari Raya Kurban) sebagaimana pada ritual-ritual keagamaan lainnya, ada dua hal penting yang terkandung di dalam perayaan kedua tahunan ini. Pertama, semangat ketauhidan. Dengan perayan dan pelaksanan kurban, kita dipaksa untuk mengevaluasi nilai-nilai ketaatan kita kepada Sang Pencipta. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam kerangka penegakkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penekanan solidaritas dan kesatuan kemanusian tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan kebutuhan itu sendiri.
Imam Al-Ghazali memberikan patokan bahwa kurban hendaknya tidak semata berorientasi formalitas, tetapi lebih menajamkan pada visi dan misi ibadah itu sendiri. Di dalam Al-Qur’an setiap kalimat ‘amilush sholihat (perbuatan baik), senantiasa disebutkan objek kemanusiaan, sebaliknya bukan pada nilai pahala semata. Sesungguhnya derajat pahala sangat ditentukan oleh kualitas derajat kemanusiaan. Sangatlah tepat jika momentum kurban tahun ini mampu menjadi refleksi kemanusiaan yang tinggi bagi kaum muslimin untuk menjalankan ibadah kurban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar